Minggu, 23 Februari 2014

TABARUKAN KE MAKAM KH MUNTAHA AL HAFIDZ WONOSOBO

TABARUKAN KE MAKAM KH MUNTAHA AL HAFIDZ WONOSOBO






WONOSOBO – Kia khos ini bernama KH. Muntaha Alhafidz. Beliau biasa dipanggil Mbah Mun. Kiai Muntaha adalah ulama legendaris, dan Kharismatik yang dijuluki sang Maestro Al-Qur'an. Di bawah naungan Yayasan Al-Asy'ariyyah,Mbah Mun memimpin pesantre dengan ribuan santri.
Kiai hafal Al Quran ini memiliki karya fenomenal yaitu Al-Qur'an Akbar (Al-Qur'an terbesar di dunia) yang kini disimpan di bait Al-Qur'an Taman Mini Indonesia Indah.
Nama lengkapnya adalah KH Muntaha al-Hafiz bin Asy`ari bin `Abdul Rahim bin Muntaha bin Muhammad adalah pengasuh dan penerus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Al-Asy`ariyyah. Beliau dilahirkan pada 9 Juli 1912 di Desa Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau memulai pengajian formal agamanya di Darul Ma'arif, Banjarnegara di bawah asuhan Syaikh Muhammad Fadhlullah As-Suhaimi yang masih terhitung kerabatnya. Setelah tamat di Darul Ma'arif, beliau meneruskan mondok di Pesantren Tahfidzul Quran Kaliwungu, Kendal di bawah asuhan K.H. Utsman sehingga berhasil menghafal al-Quran ketika berusia 16 tahun. Setelah itu, beliau mendalami ilmu qira'ah di Pesantren Krapyak di bawah asuhan K.H. M. Munawwir Al Muqri Alhafiz. Lalu beliau melanjutkan studinya di Pesantren Termas, Pacitan dengan mendalami ilmu hadits, fiqh dan tafsir di bawah asuhan Kiyai Dimyathi.
Dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan negara Indonesia, KH Muntaha Al-Hafiz tidak ketinggalan berjuang menjadi komandan BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang bertempur dengan penjajah Belanda di Palagan Ambarawa. Kiyai Muntaha Al-Hafiz juga terkenal sebagai seorang ulama multidimensi yang mempunyai berbagai ide yang cemerlang. Dalam dunia pendidikan KH Muntaha al-Hafiz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan al-Asy'ariyyah.
Mbah Muntaha merupakan generasi ketiga pemegang pesantren tersebut. Pendiri pesantren ini adalah Kyai Abdurrahman, ulama seperjuangan Pangeran Diponegoro.
Pada saat Diponegoro ditangkap oleh Belanda, para pengikutnya dikejar-kejar, Mbah Abdurrahman berhasil meloloskan diri, dan bersembunyi di lereng pegunungan Dieng –kelak, daerah ini menjadi desa Kalibeber sekarang. Di desa ini Mbah Abdurrahman menyebarkan dan mengajarkan Islam. Akhirnya, ketika para santri mulai berdatangan, cikal bakal pesantren Al Asy’ariyah berdiri.
Generasi kedua pesantren ini diasuh oleh sang putra, Kyai Asy’ari –nama yang kelak diabadikan oleh Mbah Muntaha untuk nama pesantren tersebut. Ternyata, pemilihan nama tersebut, bukan tanpa sebab. Tetapi karena kesan mendalam Mbah Muntaha atas perjuangan Mbah Asy’ari yang gigih membela rakyat dan Islam, terutama dalam konfrontasinya dengan Belanda.
Pada masa kemerdekaan, karena kecintaan Mbah Asy’ari terhadap rakyat dengan advokasi-advokasi kerasnya, dan kecintaannya terhadap kemerdekaan dan Tanah Air, Belanda merasa gerah. Mbah Asy’ari dikejar-kejar. Untuk menghindari penangkapan Belanda, Mbah Asy’ari mengungsi ke daerah lereng terjal pegunungan Dieng yang sangat sulit dijangkau orang, Dero Duwur. Belum sempat kembali lagi ke Kalibeber, Mbah Asy’ari terserang sakit, dan wafat di tempat persembunyian tersebut. Setiap menjelang Ramadhan, sudah menjadi tradisi, para santri Kalibeber diwajibkan untuk napak tilas perjuangan berat Mbah Asy’ari ini, dan sekaligus berziarah ke makam beliau. Bagi saya, tradisi napak tilas ini adalah sebuah tradisi yang sangat bermakna. Pada saat-saat napak tilas tersebut semangat patriotisme seakan-akan meledak. Luar biasa.
Sepeninggal Mbah Asy’ari, sebagai putra tertua, Mbah Muntaha mengambil alih estafet kepemimpinan pesantren warisan Mbah Abdurrahman tersebut, dan dirubah-namakan menjadi Al Asyari’ah. Pesantren ini tetap melanjutkan tradisinya sebagai pesantren penghafal Al Qur’an. Mbah Mun, selain mendapatkan ijazah hafidz dari beberapa kyai ternama pada masanya, juga berguru ke beberapa ulama besar pada zamannya.
Bagi Mbah Mun, seperti yang sering diceritakan kepada kami, saat-saat paling berkesan adalah saat mondok di Kendal. Di pesantren ini, tidak saja diajarkan hidup sederhana, wara’ dan zuhud, tapi juga karena berat perjalanan yang harus di tempuh.
Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai lembaga pendidikan, antara lain : Taman Kanak-Kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah `Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy'ariyyah, Tahfidzul Qur'an, SMP Takhasus Al-Quran, SMU Takhasus al-Quran, SMK Takhasus al-Quran, Universitas Sains al-Quran (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu al-Quran (YPIIQ). Selain mengatur soal pendidikan, beliau turut aktif menjalankan dakwah bahkan beliaulah yang membentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah bagi aktivitas santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualitas diri, maupun kepada masyarakat banyak.

Dalam perjuangan memasyarakatkan al-Quran, KH Muntaha telah mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal al-Quran sebagai wadah untuk menghimpunkan para hafiz dan hafizah. Kepada murid-muridnya, beliau anjurkan agar mengkhatam al-Quran seminggu sekali. Selain menghafal al-Quran, beliau turut mengarang sebuah tafsir al-Quran diberi judul "Tafsir al-Munthaha".
KH. Muntaha al-Hafiz menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Rabu, 29 Disember 2004 dalam usia 92 tahun. Mudah-mudahan rahmat Allah sentiasa dilimpahkan kepada beliau, guru-guru beliau dan muslimin dan muslimat sekalian. ***

0 komentar: