Rabu, 05 Februari 2014

UPACARA TRADISIONAL1

 

TRADISI RUWATAN RAMBUT GEMBEL


Filosofi

Ritual ruwat rambut gembel sudah menjadi tradisi tahunan warga Kabupaten Wonosobo.
Ritual ruwat rambut gembel ini dilakukan terhadap anak-anak yang memiliki rambut “gembel” atau “gimbal”. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai anak bajang.
Ada yang dinamakan ”gembel pari”, yakni gembel tumbuh memanjang membentuk ikatan kecil-kecil menyerupai padi. Juga ada jenis gembel lain, seperti “gembel jatha”, “gembel wedhus”, “gembel gombak”, “gembel pethek” dan “gembel kuncung”. Pada prinsipnya, rambut mereka terpilin layaknya penyanyi reggae atau bahkan seperti Ruud Gullit, pemain sepakbola asal Belanda.
Konon, anak-anak ini merupakan titisan Kiai Kolodete, salah satu pendiri Wonosobo, selain Kiai Karim dan Kiai Walik. Banyak dijumpai di Kawasan Dataran Tinggi Dieng mulai dari kawasan lereng sebelah barat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Rambut gembel ini tumbuh, tidak sejak lahir, melainkan  setelah beberapa tahun si anak  tumbuh dan berkembang. Rata-rata dibawah umur lima tahun, anak tersebut mendadak sakit panas dan esok harinya  tiba-tiba rambutnya telah berubah menjadi gembel. Walaupun telah dikeramasi dan disisir, rambutnya tetap tidak dapat kembali seperti semula.
Secara fisik dan psikologis, mereka  mempunyai tabiat (watak) dan menunjukkan perilaku yang khusus, seperti pendiam, suka bergaul, enerjik, nakal, suka mengatur dan heroik. Karenanya, mereka disakralkan dan disebut anak “Sukerta”, yakni anak yang disajikan menjadi mangsa”Bathara Kala”.
Agar menjadi anak manusia yang wajar, mereka harus dibersihkan atau disucikan dari gembelnya (sukertanya) dengan menghilangkannya. Proses inilah yang disebut dengan “ruwatan” , yang menurut Bahasa Jawa berarti “lepas” yang bermakna lepas dari karakteristik sebagai anak gembel, dengan cara mencukur rambut gembelnya.
Ruwatan dapat dilakukan setelah si anak meminta sendiri untuk dicukur dengan meminta persyaratan tertentu (bebana). Permintaan  atau bebana yang diminta tiap anak beraneka ragam dan berlainan, misalnya bebananya rok dan baju levis, ayam babon dan ikan asin (rese jenggli) dan uang Rp. 300.000,-, sekeranjang jeruk dan anting-anting, telur satu pring dan daging ayam sepiring, gethuk dan gula jawa. Ada juga bebananya, meminta agar rambutnya dicukur sendiri langsung oleh Bapak Bupati Wonosobo, atau dipangku oleh kakeknya, dan lain-lain.
Anehnya, apabila bebana yang diminta si anak tidak dipenuhi, maka rambut gembel yang sudah dicukur akan tumbuh lagi atau kondisi kesehatannya bisa terganggu, badan panas dingin, bahkan kejang-kejang.
               
Prosesi  ritual ruwat
Sebelum ruwat rambut gembel dimulai, diawali dengan beberapa rangkaian  kegiatan sebagai berikut :
Ø Berziarah ke beberapa tempat keramat di Dataran Tinggi Dieng, termasuk ke pekarangan Kiai Kolodete dan isterinya Nyai Cindelaras di Gunung Kendil beberapa hari sebelumnya, antara lain : di pertapaan Mandalasari, Gunung Bismo, Gunung Pakuwaja, Gunung Kendil, Kawah Sikidang,  Candi-candi Hindu, Telaga Balekambang, Sendang Maerakaca, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Kawah Sileri, Gunung Prau, Kali Tulis, Eyang Manggalayuda dan Eyang Kyai Carita.
Ø Sekitar pukul 08.00 WIB, anak-anak berambut gembel dibawa ke Sendang Maerakaca di kompleks Candi Pendawa Lima untuk dijamasi atau dikeramasi dengan dipandu juru kunci Dieng (Rusmanto)
Ø  Kemudian, mereka dikirab menuju Batu Semar di kompleks Telaga Warna dan Telaga Pengilon, diiringi dengan arak-arakan pembawa sesaji dipimpin oleh para sesepuh dan warga Dieng.
Ø Sebelum masuk pintu gerbang Telaga Warna dan Telaga Pengilon, para sesepuh berdoa dengan takzim
Ø Beriringan masuk ke kompleks Telaga Warna dan Telaga Pengilon,
Ø Sesaji yang terdiri atas tumpeng robyong, tumpeng kalung, ingkung ayam, jajan pasar, minuman  lengkap dan sesaji larungan ditata di depan Batu Semar
Ø Di depan Gua Semar, anak-anak dipangku orang tuanya dan para sesepuh berdoa khusuk. Satu per satu anak-anak itu mendapat giliran dicukur. Yang dicukur  rambut yang gembel saja, yang lainnya tidak.
Ø Ritual cukur dibarengi dengan sesaji sawur yang terdiri dari beras kuning, kembang setaman dan kembang telon. Setelah dicukur, permintaan si anak diberikan kepada mereka. Sementara rambut gembel yang telah dicukur dilarung ke Telaga Warna oleh para sesepuh bersama dengan sesaji.


Sesaji
Sesaji dalam ritual ruwat rambut gembel, ada beberapa macam dan mengandung makna yang tidak sama, seperti :
v Tumpeng robyong, berbentuk tumpeng nasi putih di atasnya ditancapkan jajan pasar. Tumpeng ini menggambarkan rambut gembel yang dipersembahkan untuk Kiai Kolodete.  Makna  yang terkandung dalam simbol ini adalah bahwa hidup selalu dikelilingi berbagai sifat kehidupan siluman. Agar lepas dari gangguan harus dibuat sesaji tumpeng robyong untuk meruwat anak gembel dari cengkeraman siluman.
v Tumpeng kalung, dihiasai kelapa muda. Maknanya anak gembel setelah diruwat akan  dapat meneruskan  perjuangan hidup dan senantiasa berbakti kepada orang tua, guru, pemerintah serta Tuhan.
v Ingkung ayam jantan dimasak utuh dibersihkan bagian luar dan  bagian dalamnya. Ini bermakna bahwa orang hidup harus bersih luar dan dalam agar sepanjang hidupnya menemui kebahagiaan sejati.
v Jajan pasar, bermakna pada saat kelak nanti setelah dewasa, anak-anak tersebut bisa hidup mandiri dan menjadi teladan bagi banyak orang.
v Minuman lengkap yang terdiri atas the, kopi dan air putih.
v Sesaji yang dilarung terdiri atas bunga mawar merah, putih, kantil, kenanga,  cempaka, kacapiring dan melati.

Bagi orang yang tidak percaya tentang keyakinan tersebut, rambut anak gembel yang dipotong tanpa upacara ritual, ternyata anak itu menjadi sakit-sakitan.
Pada umumnya anak-anak bajang itu diistimewakan oleh keluarga dan diyakini membawa rezeki tersendiri.  Permintaan anak berambut gembel (gimbal) biasanya cukup aneh, Namun, orang tuanya biasanya mau mengabulkan permintaan tersebut sebatas kemampuannya. Permintaan berat atau sulit sering disiasati sampai anak bajang itu mau menerimanya.

0 komentar: