TRADISI
RUWATAN RAMBUT GEMBEL
Filosofi
Ritual ruwat rambut gembel sudah menjadi
tradisi tahunan warga Kabupaten Wonosobo.
Ritual ruwat rambut gembel ini dilakukan
terhadap anak-anak yang memiliki rambut “gembel” atau “gimbal”. Bahkan ada yang
menyebutnya sebagai anak bajang.
Konon, anak-anak ini merupakan titisan Kiai
Kolodete, salah satu pendiri Wonosobo, selain Kiai Karim dan Kiai Walik. Banyak
dijumpai di Kawasan Dataran Tinggi Dieng mulai dari kawasan lereng sebelah
barat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Rambut gembel ini tumbuh, tidak sejak lahir,
melainkan setelah beberapa tahun si
anak tumbuh dan berkembang. Rata-rata
dibawah umur lima
tahun, anak tersebut mendadak sakit panas dan esok harinya tiba-tiba rambutnya telah berubah menjadi
gembel. Walaupun telah dikeramasi dan disisir, rambutnya tetap tidak dapat
kembali seperti semula.
Secara fisik dan psikologis, mereka mempunyai tabiat (watak) dan menunjukkan perilaku
yang khusus, seperti pendiam, suka bergaul, enerjik, nakal, suka mengatur dan
heroik. Karenanya, mereka disakralkan dan disebut anak “Sukerta”, yakni anak
yang disajikan menjadi mangsa”Bathara Kala”.
Agar menjadi anak manusia yang wajar, mereka
harus dibersihkan atau disucikan dari gembelnya (sukertanya) dengan
menghilangkannya. Proses inilah yang disebut dengan “ruwatan” , yang menurut
Bahasa Jawa berarti “lepas” yang bermakna lepas dari karakteristik sebagai anak
gembel, dengan cara mencukur rambut gembelnya.
Ruwatan dapat dilakukan setelah si anak meminta
sendiri untuk dicukur dengan meminta persyaratan tertentu (bebana). Permintaan atau bebana yang diminta tiap anak beraneka
ragam dan berlainan, misalnya bebananya rok dan baju levis, ayam babon dan ikan
asin (rese jenggli) dan uang Rp. 300.000,-, sekeranjang jeruk dan
anting-anting, telur satu pring dan daging ayam sepiring, gethuk dan gula jawa.
Ada juga bebananya, meminta agar rambutnya dicukur sendiri langsung oleh Bapak
Bupati Wonosobo, atau dipangku oleh kakeknya, dan lain-lain.
Anehnya, apabila bebana yang diminta si anak
tidak dipenuhi, maka rambut gembel yang sudah dicukur akan tumbuh lagi atau
kondisi kesehatannya bisa terganggu, badan panas dingin, bahkan kejang-kejang.
Sebelum
ruwat rambut gembel dimulai, diawali dengan beberapa rangkaian kegiatan sebagai berikut :
Ø Berziarah ke beberapa tempat
keramat di Dataran Tinggi Dieng, termasuk ke pekarangan Kiai Kolodete dan
isterinya Nyai Cindelaras di Gunung Kendil beberapa hari sebelumnya, antara
lain : di pertapaan Mandalasari, Gunung Bismo, Gunung Pakuwaja, Gunung Kendil,
Kawah Sikidang, Candi-candi Hindu,
Telaga Balekambang, Sendang Maerakaca, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka,
Kawah Sileri, Gunung Prau, Kali Tulis, Eyang Manggalayuda dan Eyang Kyai
Carita.
Ø Sekitar pukul 08.00 WIB, anak-anak
berambut gembel dibawa ke Sendang Maerakaca di kompleks Candi Pendawa Lima
untuk dijamasi atau dikeramasi dengan dipandu juru kunci Dieng (Rusmanto)
Ø Kemudian, mereka dikirab menuju Batu Semar di
kompleks Telaga Warna dan Telaga Pengilon, diiringi dengan arak-arakan pembawa
sesaji dipimpin oleh para sesepuh dan warga Dieng.
Ø Sebelum masuk pintu gerbang Telaga
Warna dan Telaga Pengilon, para sesepuh berdoa dengan takzim
Ø Beriringan masuk ke kompleks Telaga
Warna dan Telaga Pengilon,
Ø Sesaji yang terdiri atas tumpeng
robyong, tumpeng kalung, ingkung ayam, jajan pasar, minuman lengkap dan sesaji larungan ditata di depan
Batu Semar
Ø Di depan Gua Semar, anak-anak
dipangku orang tuanya dan para sesepuh berdoa khusuk. Satu per satu anak-anak
itu mendapat giliran dicukur. Yang dicukur
rambut yang gembel saja, yang lainnya tidak.
Ø Ritual cukur dibarengi dengan sesaji
sawur yang terdiri dari beras kuning, kembang setaman dan kembang telon.
Setelah dicukur, permintaan si anak diberikan kepada mereka. Sementara rambut
gembel yang telah dicukur dilarung ke Telaga Warna oleh para sesepuh bersama
dengan sesaji.
Sesaji
Sesaji
dalam ritual ruwat rambut gembel, ada beberapa macam dan mengandung makna yang
tidak sama, seperti :
v
Tumpeng
robyong, berbentuk tumpeng nasi putih di atasnya ditancapkan jajan pasar.
Tumpeng ini menggambarkan rambut gembel yang dipersembahkan untuk Kiai
Kolodete. Makna yang terkandung dalam simbol ini adalah bahwa
hidup selalu dikelilingi berbagai sifat kehidupan siluman. Agar lepas dari
gangguan harus dibuat sesaji tumpeng robyong untuk meruwat anak gembel dari
cengkeraman siluman.
v Tumpeng kalung, dihiasai kelapa
muda. Maknanya anak gembel setelah diruwat akan
dapat meneruskan perjuangan hidup
dan senantiasa berbakti kepada orang tua, guru, pemerintah serta Tuhan.
v Ingkung ayam jantan dimasak utuh
dibersihkan bagian luar dan bagian
dalamnya. Ini bermakna bahwa orang hidup harus bersih luar dan dalam agar
sepanjang hidupnya menemui kebahagiaan sejati.
v Jajan pasar, bermakna pada saat
kelak nanti setelah dewasa, anak-anak tersebut bisa hidup mandiri dan menjadi
teladan bagi banyak orang.
v Minuman lengkap yang terdiri atas
the, kopi dan air putih.
v Sesaji yang dilarung terdiri atas
bunga mawar merah, putih, kantil, kenanga, cempaka, kacapiring dan melati.
Bagi orang yang tidak percaya
tentang keyakinan tersebut, rambut anak gembel yang dipotong tanpa upacara
ritual, ternyata anak itu menjadi sakit-sakitan.
Pada umumnya anak-anak bajang itu
diistimewakan oleh keluarga dan diyakini membawa rezeki tersendiri. Permintaan anak berambut gembel (gimbal)
biasanya cukup aneh, Namun, orang tuanya biasanya mau mengabulkan permintaan
tersebut sebatas kemampuannya. Permintaan berat atau sulit sering disiasati
sampai anak bajang itu mau menerimanya.
0 komentar:
Posting Komentar